Mengatasi Tantangan dan Memanfaatkan Privilese untuk Berkarier di Bidang Hukum

Perihal Perempuan
4 min readOct 14, 2023

--

Credits: PopCrush

“What? Like it’s hard?”

Apakah kamu familiar dengan kalimat barusan? Kalau iya, bisa jadi kamu adalah salah satu penggemar film Legally Blonde. Kalimat tadi dengan percaya diri diucapkan oleh Elle Woods, si karakter utama, saat lawan mainnya tidak percaya kalau Elle bisa masuk kuliah hukum di Harvard.

Well, Elle, the truth is… Law is hard.

Pekerjaan di bidang hukum, terutama di firma hukum, masih menjadi salah satu bidang pekerjaan yang terlihat prestisius. Namun, kenyataannya mengambil bidang studi hukum dan berkarier di bidang tersebut tidak semudah yang Elle Woods katakan. Proses yang cukup panjang dan rumit untuk seseorang menjadi pengacara hanya secuil dari permasalahan yang ada. Selain memerlukan gelar sarjana hukum, Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) harus diambil, lalu orang tersebut harus lulus Ujian Profesi Advokat (UPA), magang di kantor advokat, hingga pengambilan sumpah advokat.

Pun saat sudah menjadi pengacara, tantangan berikutnya bisa jadi lebih besar. Salah satunya yang paling menonjol adalah jam kerja yang panjang, nature pekerjaan dengan tuntutan yang banyak, hingga budaya kerja yang penuh tekanan.

Dengan berbagai tantangan tersebut, bagaimana dengan posisi perempuan yang masih banyak harus berhadapan dengan beban ganda yang membuat pilihan karier di sektor tersebut?

Bagaimana Kondisi Sektor Hukum di Indonesia?

Menurut Aldilla Stephanie Suwana, salah satu senior associate di SSEK, perempuan yang bekerja di sektor hukum di Indonesia terhitung cukup banyak. Terutama jika dibandingkan dengan negara lain seperti Amerika Serikat, yang hanya memiliki 38% pengacara perempuan. Di Indonesia, tidak sedikit partner di firma hukum, notaris, hingga posisi pengacara diduduki oleh perempuan. Walaupun demikian, bukan berarti diskriminasi berbasis gender sama sekali nihil di sektor ini.

Contoh paling sederhana adalah, maraknya media dengan tajuk “jaksa cantik” beberapa waktu lalu, di mana sorotan media mengkerdilkan prestasi seorang jaksa perempuan dengan berfokus hanya pada paras dan penampilannya. Pun saat kamu mencari “pengacara perempuan Indonesia” di mesin pencari, maka beberapa judul media yang akan muncul adalah “10 Pengacara Cantik di Indonesia.”

Selain itu, banyaknya tantangan dan tuntutan untuk berkarier di bidang hukum juga membuat bidang ini semakin sulit untuk dijalani seperti:

  1. Tantangan dukungan keluarga

Sudah bukan berita baru bahwa perempuan yang berkeluarga harus memikul beban ganda. Peran perempuan dalam rumah tangga kerap kali dituntut untuk lebih banyak di rumah seperti menjadi caretaker keluarga, mengurus suami serta anak, hingga memenuhi berbagai peran lain di rumah. Ditambah lagi pandangan patriarki di Indonesia juga membuat banyak suami tidak ingin istri mereka berkarier di luar rumah. Bahkan, tidak jarang laki laki menganggap egonya dilukai kalau memiliki pasangan yang berambisi mengejar kariernya.

Di sisi lain, pekerjaan di sektor hukum yang memerlukan jam kerja yang panjang dan cenderung banyak dihabiskan di luar rumah. Dukungan keluarga, terutama pasangan, untuk perempuan yang bekerja di bidang hukum menjadi salah satu privilese yang dibutuhkan untuk mengejar karier di sektor tersebut.

2. Tantangan ekonomi

Dengan proses studi yang panjang sampai akhirnya lulusan sarjana hukum dapat mengambil sekolah advokat, tentu modal yang dikeluarkan tidak sedikit. Aldilla juga bercerita, sebagai seorang alumni Harvard Law School, bahwa bahkan di Amerika Serikat, seseorang harus mengambil tiga tahun sekolah hukum (Juris Doctor) setelah empat tahun sarjana (bachelor’s degree) untuk dapat melanjutkan karier di bidang hukum.

Walaupun salah satu appeal yang membuat karier di bidang hukum menjadi salah satu pilihan karier yang prestisius adalah kompensasi yang didapat, privilese di bidang ekonomi juga menjadi salah satu hal yang dibutuhkan. Tidak semua orang, terutama orang-orang di status ekonomi menengah dan ke bawah memiliki privilese untuk mengejar karier di sektor tersebut. Jenjang pendidikan yang panjang juga membuat mereka harus menunda proses mencari penghasilan jika ingin sepenuhnya fokus menyelesaikan studi secepatnya untuk memulai pekerjaan di firma hukum.

Memanfaatkan Privilese atau Modal yang ada untuk berkarier di bidang hukum

Untuk dapat berkarier di bidang hukum dan menjalani praktik hukum, terutama bagi perempuan, dukungan yang diperlukan harus bersifat holistik, dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan terutama yang berkaitan dengan peran perempuan di masyarakat.

Beberapa firma dan lembaga hukum pun menyadari hal ini. Misalnya, Aldilla yang bekerja di SSEK, salah satu firma hukum ternama di Indonesia, menyatakan bahwa lingkungan pekerjaannya sangat suportif terhadap perempuan. Selain memiliki founding members yang adalah perempuan, tempatnya bekerja juga memberikan dukungan dan fasilitas dasar yang membantu Aldilla memenuhi perannya yang lain sebagai ibu.

Dukungan ini pun sudah ia rasakan sejak melanjutkan studi di Harvard, di mana banyak support group untuk perempuan di bidang hukum dan asosiasi untuk perempuan di bidang hukum membantu perempuan untuk dapat menavigasi dan mengembangkan karier di bidang tersebut.

Di luar konteks kantor dan kampus, Aldilla pun mendapatkan dukungan yang luar biasa dari pasangan dan keluarganya, yang memungkinkan dirinya untuk berkembang dalam kariernya serta menjalankan peran domestiknya di keluarga dengan seimbang.

Dukungan dan privilese holistik yang dimaksud adalah yang demikian, di mana tak hanya dari lingkungan personal seperti keluarga, tetapi juga ditunjang dengan fasilitas dari perusahaan dan komunitas sekitar. Tantangan yang besar, namun diimbangi dengan dukungan yang tidak kalah besar.

Kesimpulan

Dengan segala keterbatasan yang dihadapi oleh perempuan di negara yang patriarkis, ketika perempuan diberikan kesempatan dan dukungan yang menyeluruh, baik dari ekonomi, keluarga, lingkungan pekerjaan dan studi yang melek gender, maka pilihan karier di bidang apa pun yang mereka suka tidak lagi jadi mimpi, melainkan jadi ambisi yang sangat mungkin untuk diraih.

Saat seluruh dukungan tersebut terpenuhi dan perempuan dapat dibekali kesempatan dan modal yang sama, maka pernyataan Elle Woods dari film Legally Blonde bisa menjadi lebih relevan.

“What? Like it’s hard?”

References:

Kamu Mahasiswa Hukum Ingin Jadi Laywer? Berikut Tahapan Jadi Lawyer! (hukumonline.com)

A Comprehensive Guide to Law Degrees in the USA (2023) (kingseducation.com)

U.S.: share of lawyers by gender 2022 | Statista

--

--