Representasi LGBTQ+ Dalam Media: Perlukah?

Perihal Perempuan
3 min readAug 29, 2023

--

Image by Netflix

Penggambaran LGBTQ+ dalam bentuk kultur populer seperti film dan serial merupakan sebuah pendekatan yang sekarang banyak dilakukan untuk merepresentasikan LGBTQ+. Salah satu serial yang banyak diperbincangkan beberapa waktu lalu adalah “XO, Kitty.”. Serial produksi Netflix ini satu ini adalah spin-off dari trilogi “To All The Boys I’ve Loved Before”, dengan menampilkan Kitty sebagai pemeran utama yang merupakan adik dari Lara Jean. Serial ini menceritakan tentang Kitty yang semula menjalin hubungan jarak jauh dengan sang kekasih (Dae) di Korea yang kemudian memutuskan untuk pindah ke sekolah Korea Independent School of Seoul (KISS) tempat kekasihnya pergi. Namun, di sana ia tak hanya untuk menyusul Dae, Kitty juga mengalami proses pencarian identitas dirinya, termasuk orientasi seksualnya. Kitty secara perlahan menyadari perasaannya pada Yuri — putri dari kepala sekolah yang populer.

Representasi LGBTQ+ dalam serial ini dapat dibilang cukup baik. Proses pencarian identitas diri Kitty dari yang semula menyukai laki-laki, namun kemudian ia mulai mempertanyakan orientasi seksualnya karena merasa tertarik dengan Yuri adalah pengalaman yang juga dialami oleh banyak orang.

Namun, penggambaran LGBTQ+ di serial tersebut menimbulkan berbagai macam reaksi dari penonton. Banyak sekali kritikan yang mempertanyakan “perlukah para remaja menormalisasi LGBTQ+, apalagi di negara Asia?”. Dalam series ini, digambarkan bahwa kehidupan Kitty di asrama KISS terkesan ”terlalu bebas” jika dilihat dari perspektif budaya Korea Selatan yang masih konservatif. Selain itu, Kitty juga dikelilingi oleh teman-teman yang mengidentifikasi sebagai bagian dari LGBTQ+ yaitu Quincy dan Florian. Namun, berbeda dengan Kitty, Florian dan Yuri harus menghadapi konflik bahwa orang tua mereka menentang keras identitas diri mereka sebagai LGBTQ+.

Hal yang dialami oleh Kitty dan teman-temannya ternyata relevan dengan apa yang dirasakan para remaja queer dalam proses memahami jati dirinya. Jika berada di lingkungan yang mendukung kebebasan untuk mengekspresikan ketertarikan seksual selain heteroseksual, remaja queer akan dengan mudah menerima orientasi seksual mereka. Sebaliknya, jika berada dalam lingkungan homofobik, maka mereka akan memilih untuk diam dan menyembunyikan orientasi seksual mereka karena mengetahui konsekuensi jika mereka memutuskan untuk melela. Pun, tak jarang lingkungan yang demikian membuat seseorang menjadi lebih sulit untuk menerima identitasnya sendiri.

Adegan-adegan ini di serial “XO, Kitty” dapat menjadi cerminan dunia nyata bahwa LGBTQ+ belum sepenuhnya memiliki ruang aman, bahkan di lingkungan terdekat mereka. Di banyak negara, LGBTQ+ masih mengalami diskriminasi dan pembatasan ruang gerak. Termasuk di Indonesia, yang masih belum menjadi tempat yang aman bagi LGBTQ+ untuk menunjukkan identitas dan mendapat hak yang setara di masyarakat. Modernisasi pun tak menjamin perkembangan pemikiran masyarakat, terutama terhadap LGBTQ+. Buktinya, di tengah gencaran teknologi dan akses informasi, LGBTQ+ masih kerap kali dianggap sebagai penyimpangan norma sosial dan bukannya bagian dari identitas seseorang.

Karena itulah, representasi minoritas seperti LGBTQ+ menjadi penting. Representasi yang tersampaikan dengan baik di media kultur populer diharapkan dapat memberi edukasi kepada masyarakat luas mengenai orientasi seksual dan identitas gender, serta memberikan rasa aman kepada teman-teman LGBTQ+ yang belum melela atau sedang dalam proses pencarian identitas diri.

Penulis: Dinda Mareta & Anandyatari A.
Editor: Pramasari Edie Wijaya & Joice Tentry Wijaya

--

--